Waa Waa … Narak lak ! Waa Waa … Lauk inak !
Wilil Himan - Walilo Alua adalah sekelompok masyarakat Rumpun Wita dan Rumpun Waya dalam suku Dani yang menetap dan berkembang di wilayah kampung Suroba dan Dugum (Sketch Map of The Dugum Neighbourhood, taken from the book "Gardens of War” collaborated by Robert Gardner & Karl Heider Cs, The Harvard-Peabody New Guinea Expedition - 1961 )Kisah ceritera ini ada di halaman depan depan ( Garden of War at Suroba dan Dugum ): Pada waktu dahulu ketika masih terjadi perang antar suku, Suroba dan Dugum selalu menjadi komunitas bersama untuk berperang melawan musuh-musuhnya di Tulem atau di Warabaga. Pada masa itu mereka mempunyai prajurit-prajurit yang sangat diandalkan antara lain : Wali, Alhorok, Selearek, Nilik, Obahorok, Siba, Asuan, Yalimo, Pukale dan lain-lain. Dimana setiap malam secara reguler mereka berkumpul didalam "Pilamo" (Rumah/Honay Adat Utama untuk para lelaki) dengan tujuan untuk mengatur siasat penyerangan maupun pertahanan sekaligus dengan pembagian tugas masing-masing, antara lain : Kepada Hanomoak, terlihat pada gambar Dia sedang berdiri diatas menara pengintai "Kayou" yang dilakukan pada saat matahari terbit, adapun sudah tersebar beberapa Kayou (WatchTower) yang dipancang diberbagai tempat terutama diwilayah perkebunan. Jadi pada menara pegintai utama harus dijaga oleh Hanomoak sendiri, dengan kelihaiannya untuk memantau dan mengamati secara seksama .......Kalau-kalau adakah musuh yang telah menyelinap dibalik belukar atau didalam rumput-rumput ilalang ........ dan kalau ada ! Akan terlihat "Sue" burung - burung kecil terbang terbirit-birit dan ribut suaranya karena adanya gerakan dibalik semak-semak yang mengusik sehingga tanda-tanda itu dicernakan sebagai adanya musuh yang sedang bersembunyi. Dengan demikian ada Kepala suku perang namanya Nilik seorang prajurit garis depan yang gagah berani dan perkasa ,dalam gambar Dia sedang berdiri diatas bukit Watibaga, sambil waspada dengan menggenggam anak panah dan busur ditangan yang selalu dibawa kemana-mana, Nilik juga siap memberi komando menyerang bila ada aba-aba apakah ada musuh yang menyusup untuk mengganggu para wanila atau ibu-ibu yang sedang bekerja dikebun atau memang ada rencana penyerangan dari pihak musuh.Cerita sekilas inipun akan dikisahkan kembali dalam cukilan buku : "Suroba dan Dugum, Cikal Bakal Pariwisata di Lembah Baliem" ( Collaborated by PaTGom for Tourism Goes to School )Maka akhirnya sepeninggal kita, para prajurit-prajurit itu sudah menjadi generasi tua dan satu persatu telah pergi meninggalkan kita selama-lamanya dan akhirnya kenangan itu telah menjadi ceritera kepahlawanan bagi anak cucu mereka sehingga dengan demikian kita dapat memberi pengakuan bahwa merekalah prajurit -prajurit terakhir atau "The Last Warior" yang terus melantangkan teriakan "Etai" (Sebagai tanda kemenangan dengan menyatakan berapa dari pihak lawan yang telah jadi korban). Tetapi pada masa Milenium ini, bukanlah teriakan kemenangan Etai dikumandangkan dalam peperangan lagi tetapi sebagai teriakan pemberi semangat dan motivasi untuk terus berjuang dan mempertahankan identitas dan integritas sebagai generasi muda penerus suku Dani di Lembah Baliem dan dapat menikmati kejayaannya selama-lamanya semenjak dari perjuangan nenek moyang mereka sehingga dengan bangga dapat mereka tunjukan terutama dalam kontribusinya memberi andil dalam kegiatan pariwisata.