Search

Minggu, 01 Agustus 2010

Garden of War


Waa Waa … Narak lak ! Waa Waa … Lauk inak !

Wilil Himan - Walilo Alua adalah sekelompok masyarakat Rumpun Wita dan Rumpun Waya dalam suku Dani yang menetap dan berkembang di wilayah kampung Suroba dan Dugum (Sketch Map of The Dugum Neighbourhood, taken from the book "Gardens of War” collaborated by Robert Gardner & Karl Heider Cs, The Harvard-Peabody New Guinea Expedition - 1961 )Kisah ceritera ini ada di halaman depan depan ( Garden of War at Suroba dan Dugum ): Pada waktu dahulu ketika masih terjadi perang antar suku, Suroba dan Dugum selalu menjadi komunitas bersama untuk berperang melawan musuh-musuhnya di Tulem atau di Warabaga. Pada masa itu mereka mempunyai prajurit-prajurit yang sangat diandalkan antara lain : Wali, Alhorok, Selearek, Nilik, Obahorok, Siba, Asuan, Yalimo, Pukale dan lain-lain. Dimana setiap malam secara reguler mereka berkumpul didalam "Pilamo" (Rumah/Honay Adat Utama untuk para lelaki) dengan tujuan untuk mengatur siasat penyerangan maupun pertahanan sekaligus dengan pembagian tugas masing-masing, antara lain : Kepada Hanomoak, terlihat pada gambar Dia sedang berdiri diatas menara pengintai "Kayou" yang dilakukan pada saat matahari terbit, adapun sudah tersebar beberapa Kayou (WatchTower) yang dipancang diberbagai tempat terutama diwilayah perkebunan. Jadi pada menara pegintai utama harus dijaga oleh Hanomoak sendiri, dengan kelihaiannya untuk memantau dan mengamati secara seksama .......Kalau-kalau adakah musuh yang telah menyelinap dibalik belukar atau didalam rumput-rumput ilalang ........ dan kalau ada ! Akan terlihat "Sue" burung - burung kecil terbang terbirit-birit dan ribut suaranya karena adanya gerakan dibalik semak-semak yang mengusik sehingga tanda-tanda itu dicernakan sebagai adanya musuh yang sedang bersembunyi. Dengan demikian ada Kepala suku perang namanya Nilik seorang prajurit garis depan yang gagah berani dan perkasa ,dalam gambar Dia sedang berdiri diatas bukit Watibaga, sambil waspada dengan menggenggam anak panah dan busur ditangan yang selalu dibawa kemana-mana, Nilik juga siap memberi komando menyerang bila ada aba-aba apakah ada musuh yang menyusup untuk mengganggu para wanila atau ibu-ibu yang sedang bekerja dikebun atau memang ada rencana penyerangan dari pihak musuh.Cerita sekilas inipun akan dikisahkan kembali dalam cukilan buku : "Suroba dan Dugum, Cikal Bakal Pariwisata di Lembah Baliem" ( Collaborated by PaTGom for Tourism Goes to School )Maka akhirnya sepeninggal kita, para prajurit-prajurit itu sudah menjadi generasi tua dan satu persatu telah pergi meninggalkan kita selama-lamanya dan akhirnya kenangan itu telah menjadi ceritera kepahlawanan bagi anak cucu mereka sehingga dengan demikian kita dapat memberi pengakuan bahwa merekalah prajurit -prajurit terakhir atau "The Last Warior" yang terus melantangkan teriakan "Etai" (Sebagai tanda kemenangan dengan menyatakan berapa dari pihak lawan yang telah jadi korban). Tetapi pada masa Milenium ini, bukanlah teriakan kemenangan Etai dikumandangkan dalam peperangan lagi tetapi sebagai teriakan pemberi semangat dan motivasi untuk terus berjuang dan mempertahankan identitas dan integritas sebagai generasi muda penerus suku Dani di Lembah Baliem dan dapat menikmati kejayaannya selama-lamanya semenjak dari perjuangan nenek moyang mereka sehingga dengan bangga dapat mereka tunjukan terutama dalam kontribusinya memberi andil dalam kegiatan pariwisata.

PONDOK WISATA SUROBA DAN DUGUM


PONDOK WISATA SUROBA
KETUA : ALES KOSSAY ( HP : + 6281 2139 55511 )
SEKRETARIS
: WILIUS WILIL ( HP : + 6285 2442 77390 )


Sekilas sejarah Suroba dan Dugum dapat dikenal tidak dengan sengaja oleh para antropologi asal Amerika Serikat yang menamakam misinya Harvard-Peabody New Guinea Expedition pada awal Februari tahun 1961, padahal ketika itu Richard Archbold telah mengadakan explorasi botani dan zoologi secara tidak sengaja di Lembah Baliem sejak tahun 1945 dan menamakannya "Shangri La". Nah, Dengan demikian pengaruh dari para antropologi itu pula yang akhirnya pada tahun 1961 mendokumentasikan kegiatan mereka tentang suku Dani, fokusnya di wilayah Dugum Suroba (lihat peta lama) yang diberi judul buku "Garden of War", karya Robert Gardner dan Karl G.Heider, yang sekaligus telah dibuat dalam film dokumenter yang berjudul "Dead Birds". Dan diulaskan pula lebih mendalam oleh Peter Mathiessen akan apa yang terjadi ketika itu di dalam buku "Under the Mountain Wall". Maka dengan melihat beberapa dokumentasi dan pustaka yang ada, seharusnya Pemerhati Pariwisata di Lembah Baliem maupun di Papua harus turut menunjang kelanjutan pengembangan kegiatan Pariwisata khususnya Suku Dani yang fokusnya biasa diadakan di kampung Suroba dan kampung Dugum, yang mana telah di letakan dasar pembangunan pondok-pondok wisata bagi wisatawan mancanegara dan ketika itu sekitar tahun 1980 para senior kita antara lain dari Natrabu Tour pimpinannya Pak Irwan, Insatra Exclusive Tours pimpinanya Pak Rudy Willem (almarhum) serta Pak Sam Chandra (almarhum) dari Chandra Tours & Travel , mereka merasa dan melihat ketika itu banyak tamu yang tertarik untuk mau tinggal lebih dekat dan mendalami kebudayaan serta kegiatan sehari-hari suku Dani. Maka atas dorongan mereka tergeraklah hati kepala suku muda Pua Himan, mulai membangun pondok-pondok sederhana dan sekaligus mengadakan kegiatan-kegiatan budaya antara lain ; Kayou War demonstration dan Pig feast atau acara bakar batu yang diadakan setiap ada kunjungan para turis. Ketika itu kegiatan adat istiadat turun temurun setiap 5 tahun sekali dengan mengadakan Mawi Wedding Ceremony telah selesai dilangsungkan tahun ini dan akhirnya ada kegiatan perang-perangan atau Festival Lembah Baliem yang pernah diadakan sebanyak 3 kali pada tahun 2001, 2002, 2003. Dengan demikian tidak secara sadar bahwa berawal dari generasi pendahulu yang terus melengkingkan teriakan kemenangan tarian Etai sehingga menjadi permulaan dan penerus cikal bakal masuknya kegiatan Pariwisata di Lembah Baliem.

Baliem Valley Festival Papua

Pesta Perang Primadona Wisata Papua

WAMENA – Lembah Baliem tempat tinggal orang Dani. Masyarakat adat yang diperkenalkan ke dunia luar sebagai petani pejuang. Mereka hidup bertani, namun gemar berperang. Buku foto Gardens of War, film dokumenter Dead Birds, hasil ekspedisi antropologi yang pertama ke sana tahun 1961 jadi penyebabnya.
Tidak salah memang pendapat itu jika menyaksikan Festival Lembah Baliem.Festival yang merayakan datangnya hari Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus. Berbagai desa memperagakan peragaan ulang berbagai kasus perang di antara kampung mereka. Lengkap dengan lempar-lemparan tombak dan saling tembak panah. Bedanya dengan dulu tidak ada yang luka. Tahun ini diselenggarakan di Dugum Dani desa awal di mana penelitian itu berlangsung. Sebanyak seribu lebih warga dari tujuh kecamatan hadir. Bahkan dari masyarakat Yali dari Abenaho yang berada di luar Lembah Baliem hadir. Mereka pun memeragakan penyebab dan taktik perang.
Strategi perang sih sederhana saja. Awalnya membalas dendam yang asal-muasalnya kerap tidak jelas lagi. Hanya saja ada pemicu awal. Contohnya yang diperagakan berbagai desa adalah penculikan warga, pembunuh anak warga, penyerbuan ladang yang baru dibuka.
Setelah begini penyerbuan pun dilakukan. Sementara lawan, yang biasanya sudah tahu, akan bertahan. Jadilah pertempuran terjadi di tengah lapang luas. Lapangan seperti ini yang dipakai di luar kampung Dugum.
Warga kecamatan Kurulu yang tahun ini menjadi tuan rumah. Artinya mereka menyediakan tempat bagi tamu yang bermalam ke sana. Malam diisi dengan pesta dansa, dan konon juga saling gaul. Kebebasan yang mungkin jadi penyebab kasus HIV tertinggi di Indonesia ada di Papua.
Tahun lalu di Kurima. Juga peragaan perang dilakukan di tengah padang rumput. Ini terus berulang dari tahun ke tahun, sejak awalnya di tahun 70an.
Awalnya pesta ini digunakan untuk menyalurkan adat perang. Maksudnya agar penyelesaian konflik dengan perang berganti dengan masuknya pemerintahan daerah, yakni Kabupaten Jayawijaya. Artinya konflik diselesaikan lewat kekuasaan pemda atau lewat pengadilan. Perang hanya boleh perang-perangan dengan disaksikan pendatang, petugas, pejabat dan wisatawan.
Bahkan pada Festival terakhir ini tarian perang, begitu acara itu sekarang disebut, sudah dilarang. Namun, menurut Zakeus Daby salah seorang guru dari Kurulu, masyarakat minta izin tetap dilakukan perang-perangan. Dan memang dari keseluruhan atraksi sesiangan Senin (11/8) lalu itu hanya tarian perang yang seru.
Bahkan pada pertunjukan-pertunjukan pertengahan ketika desa Kurulu berlagak suasana makin seru. Lempar-lempar semakin tipis melesetnya. Panah berterbangan tinggi melewati kepala penonton di tepi lapangan. Lari makin cepat, merunduk makin rendah. Wisatawan asing yang jumlahnya hampir seratus kelihatan makin bergairah.
Namun gairah Festival Lembah Baliem, menurut Andre Liem seorang pemandu kawakan di Papua, menurun. ”Saya bilang menurun karena bupati saja tidak datang,” komentarnya tentang pidato sambutan yang dibawakan Sekwilda Jayawijaya. Menurutnya masyarakat datang dari jauh, berdandan habis seperti masa lalu, ingin dihormati oleh ”kepala suku besar” mereka Bapak Bupati Hubi.
Mengenai dandan ini pun mendapat kritik dari seorang wisatawan. Hans berasal dari Berlin, Jerman. Ia berusia 60-an dan dalam setahun menghabiskan tiga minggu dalam hidupnya sebagai wisatawan. Kali ini ia berwisata ke Papua. Berjalan berminggu-minggu di pedalaman hingga kabar bom Marriot baru didengarnya seminggu setelah kejadian, ketika berjumpa dengan SH.
Hans yang menyaksikan rombongan peragaan perang dari wilayah kota Wamena mengkritik cara berbusana mereka. Rombongan ini yang terdiri dari anak sekolah tidak mengenakan holim, sarung kemaluan dari buah labu. Mereka mengenakan celana pendek biru. Baginya ini tidak asli lagi. Tidak seperti yang dijumpainya pada perjalanannya di pedalaman Lembah Baliem.
Padahal dengan kedatangan seratusan wisatawan asing Festival Lembah Baliem cukup menjadi daya tarik. Hans bersama belasan anggota rombongan yang berasal dari Jerman dan Belanda. Di antara wisatawan lain di lapangan Dugum terdapat pasangan dari Korea. Esoknya datang rombongan pemuda-pemuda Jepang di Wamena.
Boleh jadi wisata di Indonesia terpuruk. Tetapi di Papua, jelas kunjungan wisatawan mancanegara meningkat. ”Ini jumlah yang terbesar selama ini, hotel kami penuh,” jelas resepsionis di Baliem Pilamo salah satu dari hanya tiga hotel berkelas di Wamena.
Keluhan penuhnya hotel pun datang dari para pegawai dan pebisnis yang berkiprah di Wamena. Mereka mengeluh karena tidak kebagian tempat. Bahkan mereka khawatir tidak bisa berkendaraan. Maklum keluar masuk Lembah Baliem hanya ada transportasi udara. Cuaca buruk menghambat penerbangan.
Padahal sekarang ini sudah ada tiga layanan penerbangan untuk keluar masuk Wamena. Merpati yang paling tua, kemudian ada Trigana dan terakhir yang paling muda Air Mark. Mereka tidak hanya satu kali penerbangan, rata-rata dua kali. Namun semua memilih pagi hari, karena penerbangan kedua dan ketiga menanggung risiko terhambat cuaca.
Sayang, acara yang ditunggu-tunggu juga tidak tertata rapih. Undangan pukul sembilan pagi, sementara acara baru mulai tengah hari. Itu pun hanya mengandalkan pemandangan serta eksotisme budaya yang tidak seberapa canggih. Biaya per orang dari Jayapura untuk menikmati sepekan di Lembah Baliem mencapai tujuh juta rupiah. Wisatawan sudah banyak datang ke sana, termasuk empat pasang dari Jogyakarta dan Jakarta, pemenang undian Telkomsel.
Paling tidak ini membuktikan daya tarik besar dari wisata di Indonesia. Tidak harus terkonsentrasi pada Bali maupun kejadian yang memperpuruk bangsa. Masih luas dan beragam yang bisa ditawarkan Indonesia. Di antaranya Festival Lembah Baliem yang bisa jadi daya tarik utama wisata kita kini. (Sinar Harapan/adiseno)