Search

Rabu, 15 September 2010

Green Tourism : Daerah Tujuan Obyek Wisata Plus

Barry Downing Trip for Asmat Explore in 1998,with Lukky Kanyuga who lost at sea in June 6,2006 with Crew TV 7
Barry Downing Trip for Asmat Explore with Ms.Aurora-Sidney in 1998
Toilet provided by Nichols Expedition at Canyonland National Park,Utah.USA in 1999
Mountain bike with Nichols Expeditions at CanyonLand National Park,Utah.USA in 1999
Mountain bike with Nichols Expeditions at CanyonLand National Park,Utah.USA in 1999


Green Tourism

Daerah Tujuan Obyek Wisata PLUS


Mungkin judul ini agak membingungkan, tetapi kami ingin membawa saudara-saudara ke alam pikiran akan suatu kriteria Pariwisata dan Lingkungan atau Lingkungan dan Pariwisata, dimana kedua bagian ini bagaikan suami-istri yang tak dapat dipisahkan.

Memang betul kita harus mencoba dan mencoba untuk membuka obyek wisata baru yang masih terpendam untuk diekspos agar suatu obyek wisata dapat dikunjungi oleh para wisatawan. Tetapi selama ini kami melihat adanya gambaran bahwa Pariwisata hanya dikriteriakan sebagai rekayasa dalam bentuk lahan baru dimana tiba-tiba dari segala sudut pandang dan profesi ingin terlibat dan merasa tahu bahwa inilah suatu obyek wisata baru yang layak dikembangkan, dengan demikian akan mendatangkan income bagi masyarakat dan devisa sehingga kemauan yang menggebu-gebu yang tujuannya untuk kemajuan suatu obyek wisata, yang akhirnya tidak sempat dipikirkan makna dari keunikan latar belakang budaya masyarakat setempat. Lagi pula tanpa ada konsep lingkungan dalam menata Ecotourism,dimana obyek wisata itu yang katanya sebagai ”Nona manis” tetapi ternyata telah disembur dengan air comberan. Obyek wisata tersebut saya namakan sebagai : Obyek Wisata PLUS.

Dimana plus-nya bukan berarti hal yang indah, bagus, bermutu, apalagi bermakna. Tetapi Plus itu dalam arti sampah, limbah, atau tidak ramah lingkungan atau nothing to say ”Green Tourism.” Sebab ”famili dorang” kita sedang melihat dan menikmati sampah yang berserakan termasuk plastik. kertas, kalengan dan lain-lain.

Jadi disayangkan sekali bila ada suatu obyek wisata yang telah dianggarkan bermilyar-milyar tanpa ada Konsep Ecotourism yang seharusnya diterapkan sebagai proses pembelajaran langsung ditempat, tetapi ternyata hal ini telah terjadi pada berbagai event Pariwisata di Papua.

Secara sadar atau tidak sadarkah, bila kita semua ingin agar obyek wisata yang indah di Kalkhote dan lain-lain dicemari dengan Plus-nya sampah-sampah itu. Sudah waktunya juga proses pembelajaran seharusnya berjalan ketika kegiatan itu berlangsung sambil diumumkan dan diperingatkan oleh pengarah acara yang selalu menginformasikan agar jangan membuang sampah sembarangan karena sudah disediakan tempat sampah sementara berupa kantong-kantong dan tong-tong sampah, yang nantinya panitia bisa bekerja agar truk-truk sampah akan dikerahkan setiap hari untuk mengangkut sampah keluar dari obyek wisata atau areal kegiatan festival. Khususnya kegiatan acara FDS di Kalkhote dilarang membuang sampah ke danau Sentani dengan sengaja.

Pelayaran kami bersama MV.Aurora asal Australia tahun 1998 dari Merauke ke Asmat, dengan paket wisata mengunjungi kampung-kampung disana termasuk mengikuti acara pelelangan ukiran Asmat di Agats. Setelah itu harus mengawal kapal itu ke Ambon lewat Tual,dan ternyata setelah berhari-hari berlayar ada banyak sampah yang tersimpan di kapal dan diditribusikan kedaratan yang disinggahi yaitu Tual. Jadi walaupun itu sisa makanan tetapi tidak pernah dibuang kelautan.

Pengalaman lain tahun 1999, kami ikut Paket Tour Nichols Expedition dengan mountain bike di Canyonland, Utah–U.S.A , yang disponsori MidCity National Bank, Chicago-Illinois, U.S.A. Dimana ketika itu kita harus bermalam dilokasi itu dengan tenda, dan disana tidak ada toilet tetapi ada tempat duduk yang ada lubang ditengah seperti permukaan closet atau WC, kemudian ada plastik hitam tergantung untuk menampung tinja dengan maksud nantinya setelah digunakan harus dikumpulkan/disimpan ditempat tersedia dan nantinya dibawa pulang oleh Tour Operator dan hal ini sesuai dengan arahan mereka. Dan tentunya tidak perlu tahu untuk apa dengan tinja itu, tetapi hal ini menunjukkan suatu proses pembelajaran yang sangat mahal kepada kami, tetapi kami dilalui dengan gratis karena telah dibayar, dengan maksud supaya saya dan kamu harus tahu bahwa kawasan konservasi daerah obyek wisata manapun tidak boleh dikotori oleh kotoran apapun. Dan pengalaman ini tanpa dibayar oleh negara dan negeri ini satu sen pun, tetapi tanah Papua yang indah ini yang mengantar kami ke negeri seberang.

Maka apakah yang harus kami bayar kembali kepada Dia yaitu : hanya dengan ”saran dan nasihat.” Jadi janganlah menampilkan Daerah Tujuan Obyek Wisata Plus lagi apalagi ditempat rekayasa obyek festival, kalaupun ada beberapa pohon sagu yang bisa tumbuh baik dilahan obyek wisata, disitu ada keunikan alami karena satu batang pohon sagu bisa diceritakan sebagai obyek wisata yang bisa dikriteriakan sebagai Green Tourism.

Filsafat budaya suku Asmat menuturkan sebagaimana manusia mati, maka jasadnya dikubur dan tubuhnya hancur dimakan ulat. Pohon sagu ditebang lalu mati dan batangnya membusuk tetapi setelah sebulan lewat maka ulat sagu akan tinggal disana dan akan selalu disuguhkan sebagai makanan pelengkap tradisi upacara adat. Jadi sebagaimana manusia mati akan hancur dimakan ulat dalam tanah tetapi pohon sagu mati tetap berfungsi karena akan diambil sari patinya dan sebagai kepercayaan ulat sagu yang ada dibatang sagu itu akan mentransfer kekuatan dua kali lipat bagi yang empunya makanan pokok. Jadi penebangan hutan sagu tanpa ada konsep yang jelas, sama saja sudah mematikan dua kali lipat kekuatan dan tenaga kami.

Nah, dengan demikian Konsep Ecotourism dengan menikahkan pasangan antara Pariwisata dan Lingkungan dapat memberi makna dan kenangan untuk para wisatawan mancanegara agar bisa kembali lagi mengunjungi ke tempat yang disebut DTW atau Daerah Tujuan Wisata Bukan Plus .Karena kalau tidak, sekali wisatawan itu datang dan melihat obyek wisata plus macam itu dan sekali itu pula dia tidak akan pernah kembali lagi. Hellem Foi ! ( Agus Kale’e-Andre Liem , colleted by PaTGom : File Revisi )

Note :

Referensi PaTGom sebagai pemerhati Pariwisata dan Lingkungan untuk kegiatan workshop : Peningkatan Kualitas Festival Danau Sentani, di Aula kantor Kabupaten Jayapura, 24 Februari 2010

Kamis, 02 September 2010

“Hadiah” untuk Satu Abad Kota Jayapura – Port Numbay



“Hadiah” untuk Satu Abad Kota Jayapura – Port Numbay

Semenjak koloni Belanda mengibarkan bendera 3 warna pada 7 Maret 1910 di Numbay, yang dipimpin oleh kapten infanteri F.J.P Sachse dan menamakannya menjadi Hollandia, sesuai dengan letak geografisnya yang berbukit-bukit dengan gugusan melengkung dan berteluk. Sesuai dengan peta lama tahun 1960-an, dimana kami melihat kota Hollandia berkembang sampai ke Hollandia Binnen (Abepura sekarang) dimana menunjukan keaslian sungai-sungai yang mengalir, yang semuanya berasal dari hulunya yang berasal dari kawasan gunung Cycloop, seperti; mata air kali Acai yang bermuara di Abenan, di teluk Youtefa. Begitupun muara-muara kali di Entrop (PTC sekarang) yang sebelumnya tertampung di kawasan hutan sagu dan mangrove yang luasnya kira-kira 9000 hektar di daerah tersebut. Dimana hutan sagu ini merupakan sumber makanan penduduk asli Tobati, Injros, Kayopulo,Kayobatu,Skow,Nafri dan juga warga lokal yang telah lama bermukim disekitarnya, seperti Yapen Waropen, Biak, Maluku dan lain-lain seperti halnya sungai-sungai yang telah disebutkan di atas, sungai Anafre, Nubai dan lain-lain juga sungai-sungai dengan bermata air dari gugusan pegunungan Cycloop, yang kemudian bermuara langsung di teluk Youtefa, teluk Imbi, dan teluk Yosudarso, dan menumpahkan banyak plankton sebagai makanan bagi berbagai macam ikan disekitar teluk-teluk tersebut, dimana hal ini sangat mendukung bagi kehidupan penduduk asli yang bermatapencaharian sebagai nelayan. Dimana kebiasaan hidup masyarakat inipun ternyata diapresiasikan dalam bentuk ornament rumah adat serta motif kebudayaan. Untuk menghargai sejarah dan makna budaya suku Tabi yang mendasari pendirian kota Hollandia tersebut, pemerintah Hollandia waktu itu mensyukurinya dengan peringatan makna 50 tahun, sesuai dengan buku yang berjudul : Ein Gouden Jibeleum 50 yaar Hollandia, van 7 Mart 1910 tot 7 Mart 1960.

Di awal tahun 2010, tepatnya sebulan sebelum memperingati satu abad Kota Jayapura, merupakan saat penuh berkah bagi para tukang sablon untuk mengais rejeki besar, yaitu dengan adanya maklumat dari Pemerintahan Kota sebagai keharusan, dan untuk mengingatkan kepada masyarakat akan adanya peringatan 100 tahun, agar menghiasi kota. Dengan bertebarannya spanduk-spanduk, kelihatannya masyarakat umum baru sadar bahwa ada peringatan satu abad di Kota Jayapura. Ketidaktahuan masyarakat ini timbul sebagai akibat kurangnya edukasi muatan lokal. Meskipun demikian, puncak acara peringatan dapat dilihat maknanya ketika dilaksanakan peringatan pekabaran Injil masuk di tanah Tabi pada 10 Maret 2010, yang diselenggarakan sesuai dengan sejarah di Metudebi–Teluk Youtefa. Dalam peringatan itu, ada suatu bentuk apresiasi dan simpati besar, yaitu dengan adanya perahu tradisional yang berlayar dari Sowek-Kabupaten Supiori, tiba dengan membawa obor lambang terang dunia. Untuk melengkapi satu abad itu hampir setahun pembangunan tugu pekabaran Injil yang megah diresmikan juga, walaupun belum tertera dibatu nisan yang sederhana akan nama-nama penabur di “kebun anggur” selama satu abad yang lampau agar mereka yang diutus akan karya ilahi di tanah Papua dapat dikenang selalu oleh anak cucu. Hal ini mungkin dapat terjawab dengan menyimak dan merenungi sebuah buku bersejarah yang digali dari segala aspek yang berjudul : “Seratus Tahun Baptisan di Metudebi” .Buku ini dikerjakan dalam kurun waktu 2 tahun oleh Rudy Mebry untuk menunjang hasrat dan inisiatif demi melengkapi kenangan peristiwa besar ini, maka masyarakat GKI di gereja Abara kampung Injros semenjak tahun 2004 mempersiapkan diri dengan segala keterbatasan dan tantangan untuk membangun gereja yang baru dan memamg terletak diatas laut. Pada awal pembangunan waktu itu setelah air surut 3 malam 4 hari maka fondasi cakar ayam dapat diletakkan diatas pasir dengan percaya Injil adalah kekuatan Allah, akhirnya pembangunan gereja Abara dapat diwujudkan juga pemakaiannya pada 9 Maret 2010. Patut disyukuri akan kerja keras dan dukungan tanpa pamrih berupa materil dan moril yang sekaligus menjaga eksistensi keberadaan kampung-kampung yang ada di teluk Youtefa dilihat dari gerakan moral dalam mengantar lauk pauk dan lain-lain pada malam hari sebelum besoknya gereja di tahbiskan. Pasca kegiatan awal pentahbisan gereja, telah dibaptis 100 anak pada tanggal 14 Maret 2010, sebagai harapan agar mereka akan menjadi saksi dan bisa berdiri dijalur depan untuk menggantikan tongkat estafet bagi mereka yang tiada nanti.

Jelasnya, peristiwa demi peristiwa berlalu menjadikan catatan; apakah kita sebagai generasi di jaman NKRI ini mau menjaga identitas kota yang nyatanya visi dan misi tidak dicernakan dengan baik?, karena secara sadar atau tidak sadar kita sendiri secara perlahan dan pasti sudah menghancurkan kota ini. Terbukti dan tidak dipungkiri bahwa di kawasan teluk Youtefa sudah terjadi degradasi lingkungan yang sangat parah, padahal disitulah nilai sejarah pintu gerbang awal pembentukan kota berada. Berhubung karakter kita yang hanya datang dan menjadi penghuni tetap kawasan Port Numbay tanpa memikirkan lingkungan yang terdegradasi, padahal begitu banyak orang pintar disekitar kita yang dapat diajak dan membuka mata, telinga, maupun hati agar bersama-sama tanpa pamrih dapat meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan ide agar kota Jayapura dapat menjadi barometer bagi kota lain di Tanah Papua dimana kita bersama-sama dapat mewujudkan kota yang bersih dan ramah lingkungan. Apakah cukup dengan hanya menggantung spanduk-spanduk di toko, kios, kantor pemerintah dan swasta, warung, dan lain-lain dengan slogan selamat dan sukses satu abad kota Jayapura?. Selanjutnya anda boleh menjawab. Apakah anda dapat mulai dengan hal sederhana saja yaitu dengan mencoba untuk bertanya; apakah semudah itu anda membuang sampah sembarangan maka apakah bisa semudah itu pula anda dapat memungutnya kembali dan menempatkannya ditempat yang benar?. Kitapun tahu bagaimana topografi kawasan kota bila terjadi musim hujan maka sangat menunjang perembesan air yang mengalir dan bermuara ke teluk Youtefa. Begitupun muara Anafre dan muara lain di teluk Imbi menumpahkan sampah kelautan lepas tetapi secara alamiah akan terdampar karena ada arus balik dari laut yang membawa sisa sampah masuk juga ke kawasan teluk Youtefa. Kenyataannya, kantong plastik selalu menghambat putaran baling-baling dari motor tempel kepunyaan masyarakat. Lagi pula bukan lagi ikan yang terjaring tetapi sampahpun turut serta. Tidak ada data dan transparansi dari pihak terkait akan tingkat pencemaran yang jelas kepada publik sehingga kesemrawutanpun terjadi. Apakah keadaan ini membuat pergulatan dan perubahan perilaku untuk mempertahankan hidup bagi masyarakat lokal asli Port Numbay, ataukah ini bagian dari “hadiah” satu abad kota yang kami berikan kepada mereka ???

Anakan pohon bakau itu sedang berjuang untuk hidup karena dia berada diatas plastik sampah dan dia tidak bisa lagi tertancap diatas lumpur. Bunga karang itu kaku dan tidak bisa bernafas lagi karena airnya tercemar. Makanan lokal berupa siput telah mengandung racun pertanda begitu parahnya kehidupan sekitarnya. Teluk Youtefa sebagai potret yang menjadi “Icon” kawasan wisata alam yang tertuang dalam kawasan lindung yang hanya berupa undang-undang belaka ( ketetapan peraturan pemerintah Republik Indonesia nomor 26 tahun 2008 ). Apakah potret yang di banggakan itu hanya terpampang diruang tamu saudara ??? Dengan potret itu anda sudah menikmati keindahannya dan bahkan sudah memberi kehidupan bagi anda bila dijual, tetapi apa yang anda berikan kepada dia?. Bukan kelapa muda saja yang anda makan di kawasan Skyline tetapi sedotan plastik yang terus anda lemparkan kejurang, seakan-akan anda lecehkan keindahannya. Tetapi masih ada apresiasi berupa rekor Muri untuk makanan lokal Papeda terpanjang 380 m, diselengggarakan kelompok Orang Muda Papua untuk dikonsumsikan kepada 6000 orang dalam rangka perayaan satu abad Kota Jayapura ini. Kami berharap semoga saat itu juga ada sosialisasi sampah dari sisa wadah yang digunakan untuk makanan, akan tetapi saat itu mungkin belum sempat terpikir.

Terima kasih, Tuan-Tuan ! Itulah “hadiah” yang anda berikan berupa limbah padat dan cair yang terus menerus mengalir setiap detik di satu abad ini dan satu abad nanti. Save The Port Numbay Green. Wanyam bey ! (Andre Liem )