Green Tourism
Daerah Tujuan Obyek Wisata PLUS
Mungkin judul ini agak membingungkan, tetapi kami ingin membawa saudara-saudara ke alam pikiran akan suatu kriteria Pariwisata dan Lingkungan atau Lingkungan dan Pariwisata, dimana kedua bagian ini bagaikan suami-istri yang tak dapat dipisahkan.
Memang betul kita harus mencoba dan mencoba untuk membuka obyek wisata baru yang masih terpendam untuk diekspos agar suatu obyek wisata dapat dikunjungi oleh para wisatawan. Tetapi selama ini kami melihat adanya gambaran bahwa Pariwisata hanya dikriteriakan sebagai rekayasa dalam bentuk lahan baru dimana tiba-tiba dari segala sudut pandang dan profesi ingin terlibat dan merasa tahu bahwa inilah suatu obyek wisata baru yang layak dikembangkan, dengan demikian akan mendatangkan income bagi masyarakat dan devisa sehingga kemauan yang menggebu-gebu yang tujuannya untuk kemajuan suatu obyek wisata, yang akhirnya tidak sempat dipikirkan makna dari keunikan latar belakang budaya masyarakat setempat. Lagi pula tanpa ada konsep lingkungan dalam menata Ecotourism,dimana obyek wisata itu yang katanya sebagai ”Nona manis” tetapi ternyata telah disembur dengan air comberan. Obyek wisata tersebut saya namakan sebagai : Obyek Wisata PLUS.
Dimana plus-nya bukan berarti hal yang indah, bagus, bermutu, apalagi bermakna. Tetapi Plus itu dalam arti sampah, limbah, atau tidak ramah lingkungan atau nothing to say ”Green Tourism.” Sebab ”famili dorang” kita sedang melihat dan menikmati sampah yang berserakan termasuk plastik. kertas, kalengan dan lain-lain.
Jadi disayangkan sekali bila ada suatu obyek wisata yang telah dianggarkan bermilyar-milyar tanpa ada Konsep Ecotourism yang seharusnya diterapkan sebagai proses pembelajaran langsung ditempat, tetapi ternyata hal ini telah terjadi pada berbagai event Pariwisata di Papua.
Secara sadar atau tidak sadarkah, bila kita semua ingin agar obyek wisata yang indah di Kalkhote dan lain-lain dicemari dengan Plus-nya sampah-sampah itu. Sudah waktunya juga proses pembelajaran seharusnya berjalan ketika kegiatan itu berlangsung sambil diumumkan dan diperingatkan oleh pengarah acara yang selalu menginformasikan agar jangan membuang sampah sembarangan karena sudah disediakan tempat sampah sementara berupa kantong-kantong dan tong-tong sampah, yang nantinya panitia bisa bekerja agar truk-truk sampah akan dikerahkan setiap hari untuk mengangkut sampah keluar dari obyek wisata atau areal kegiatan festival. Khususnya kegiatan acara FDS di Kalkhote dilarang membuang sampah ke danau Sentani dengan sengaja.
Pelayaran kami bersama MV.Aurora asal Australia tahun 1998 dari Merauke ke Asmat, dengan paket wisata mengunjungi kampung-kampung disana termasuk mengikuti acara pelelangan ukiran Asmat di Agats. Setelah itu harus mengawal kapal itu ke Ambon lewat Tual,dan ternyata setelah berhari-hari berlayar ada banyak sampah yang tersimpan di kapal dan diditribusikan kedaratan yang disinggahi yaitu Tual. Jadi walaupun itu sisa makanan tetapi tidak pernah dibuang kelautan.
Pengalaman lain tahun 1999, kami ikut Paket Tour Nichols Expedition dengan mountain bike di Canyonland, Utah–U.S.A , yang disponsori MidCity National Bank, Chicago-Illinois, U.S.A. Dimana ketika itu kita harus bermalam dilokasi itu dengan tenda, dan disana tidak ada toilet tetapi ada tempat duduk yang ada lubang ditengah seperti permukaan closet atau WC, kemudian ada plastik hitam tergantung untuk menampung tinja dengan maksud nantinya setelah digunakan harus dikumpulkan/disimpan ditempat tersedia dan nantinya dibawa pulang oleh Tour Operator dan hal ini sesuai dengan arahan mereka. Dan tentunya tidak perlu tahu untuk apa dengan tinja itu, tetapi hal ini menunjukkan suatu proses pembelajaran yang sangat mahal kepada kami, tetapi kami dilalui dengan gratis karena telah dibayar, dengan maksud supaya saya dan kamu harus tahu bahwa kawasan konservasi daerah obyek wisata manapun tidak boleh dikotori oleh kotoran apapun. Dan pengalaman ini tanpa dibayar oleh negara dan negeri ini satu sen pun, tetapi tanah Papua yang indah ini yang mengantar kami ke negeri seberang.
Maka apakah yang harus kami bayar kembali kepada Dia yaitu : hanya dengan ”saran dan nasihat.” Jadi janganlah menampilkan Daerah Tujuan Obyek Wisata Plus lagi apalagi ditempat rekayasa obyek festival, kalaupun ada beberapa pohon sagu yang bisa tumbuh baik dilahan obyek wisata, disitu ada keunikan alami karena satu batang pohon sagu bisa diceritakan sebagai obyek wisata yang bisa dikriteriakan sebagai Green Tourism.
Filsafat budaya suku Asmat menuturkan sebagaimana manusia mati, maka jasadnya dikubur dan tubuhnya hancur dimakan ulat. Pohon sagu ditebang lalu mati dan batangnya membusuk tetapi setelah sebulan lewat maka ulat sagu akan tinggal disana dan akan selalu disuguhkan sebagai makanan pelengkap tradisi upacara adat. Jadi sebagaimana manusia mati akan hancur dimakan ulat dalam tanah tetapi pohon sagu mati tetap berfungsi karena akan diambil sari patinya dan sebagai kepercayaan ulat sagu yang ada dibatang sagu itu akan mentransfer kekuatan dua kali lipat bagi yang empunya makanan pokok. Jadi penebangan hutan sagu tanpa ada konsep yang jelas, sama saja sudah mematikan dua kali lipat kekuatan dan tenaga kami.
Nah, dengan demikian Konsep Ecotourism dengan menikahkan pasangan antara Pariwisata dan Lingkungan dapat memberi makna dan kenangan untuk para wisatawan mancanegara agar bisa kembali lagi mengunjungi ke tempat yang disebut DTW atau Daerah Tujuan Wisata Bukan Plus .Karena kalau tidak, sekali wisatawan itu datang dan melihat obyek wisata plus macam itu dan sekali itu pula dia tidak akan pernah kembali lagi. Hellem Foi ! ( Agus Kale’e-Andre Liem , colleted by PaTGom : File Revisi )
Note :
Referensi PaTGom sebagai pemerhati Pariwisata dan Lingkungan untuk kegiatan workshop : Peningkatan Kualitas Festival Danau Sentani, di Aula kantor Kabupaten Jayapura, 24 Februari 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar